Minangkabau yang terletak ± 3 Km sebelah utara kota Batusangkar dan
termasuk salah satu dari 5 (lima) Nagari dalam Kecamatan Sungayang, pada
mulanya belumlah bernama Nagari Minangkabau, akan tetapi bernama Rona.
Diperkirakan dalam abad ke-14 datanglah rombongan orang dari Jawa yaitu
dari Kerajaan Mojopahit hendak memerintah di daerah ini, salah satu cara
untuk memperluas daerah jajarannya diluar pulau jawa. Oleh penduduk
waktu itu dimusyawarahkan secara bersama bagaimana caranya ini. Akan
dilawan tidak terlawan. Kebetulan waktu itu ada seorang tua yang
bergelar Dt. Nan Tuo yang mempunyai rumah di rumah Nan Ciek. Dt. Nan Tuo
ini mempunyai sandaran/persembunyiannya di bukit kepunyaannya sendiri
yaitu di Anduriang yang tidak jauh dari rumahnya. Dia ini cerdik
cendikiawan, makanya oleh penduduk dia dihormati dan disegani, malah dia
dibuatkan oleh penduduk sawah gadang sudah semalam. Masyarakat
menjelaskan kepada dia tujuan kedatangan orang dari Kerajaan Mojopahit
tersebut yaitu menyuru terka kepada kita beberapa ekor anak itik yang
sama warna, bentuk dan besarnya. Mana yang jantan dan mana yang betina,
kalau tidak teterka oleh kita maka daerah kita akan diperintah dan
dijajahnya, Jawab
Dt.Nan Tuo
tadi, ambil pasu atau loyang beri air dan makanan dalam pasu tersebut.
Mana yang suka merendam/mengalahkan itulah yang jantan dan yang
selebihnya betina. Lalu oleh penduduk waktu itu dibawalah anak itik
tersebut kepancuran Madok serta diberi makan dalam pasu/loyang yang
berisi air. Penduduk menangkap itik yang suka merendam dan mengatakan
ini jantan dan yang lainnya ini betina, dan sesuai dengan kejadiannya
atau teterkalah oleh penduduk. Keinginannya untuk menjajah sangat kuat
sekali, lalu katanya 15 hari lagi kami akan datang.
Benar 15 hari setelah dia kalah datanglah rombongan tersebut dengan
membawa sepotong kayu yang sama besarnya dan sulit untuk ditentukan mana
ujung dan mana pangkalnya. Orang tersebut menyuruh terka kepada
penduduk mana ujung dan mana yang pangkalnya. Penduduk lalu bertanya
kembali kepada
Dt.Nan Tuo, Jawab
Dt.Nan
Tuo masukkan kayu tersebut kedalam air, mana bagian yang membenam
itulah pangkalnya dan yang terapung itulah ujungnya, atua ikat dengan
benang ditengahnya. Lalu penduduk meminta kepada rombongan tersebut mana
kayunya serta melaksanakan seperti yang disuruh oleh
Dt.Nan
Tuo serta mengatakan ini pangkalnya dan ini ujungnya. Teterka lagi oleh
penduduk. Rombongan tersebut sekarang tambah kesal lagi sehingga dia
mengatakan kami tak senang dan tak mau kalah kami akan datang lagi 15
hari mendatang dangan membawa orang yang paling tinggi dan akan kita uji
mana yang paling tinggi itulah yang menang. Sepeninggal rombongan itu
penduduk lalu menyampaikan kepada
Dt.Nan Tuo. Kata
Dt.Nan
Tuo cari rumpun bambu yang dipinggir jalan dan bersihkan jalannya
kesana kemudian kemudian letakkan periuk pada pucuk rebungnya. Oleh
penduduk apa yang dikatakan oleh
Dt.Nan
Tuo itu lalu dicari dan dilaksanakan. Memang 15 hari sesudah kalahnya
dia itu rombongan datang lagi. Maka oleh penduduk dibawa orang yang
paling tinggi tersebut ketempat periuk yang digantungkan tadi dan
disuruh dia mengambilnya, dan dikatakan oleh penduduk orang tertinggi
kami baru saja pergi lihatlah sapah sirihnya baru, lalu dicoba oleh
orang tertinggi mereka mengambil periuk diatas bambu tersebut dan tidak
terjangkau/terambil, maka kalahlah dia. Akhirnya rombongan tersebut
semakin kesal dan mengatakan 15 hari lagi kami akan datang kesini dengan
membawa kerbau besar untuk diadu dengan kerbau disini.
Sepeninggal rombongan tersebut penduduk pergi menyampaikan kepada Dt.
Nan Tuo, dan jawab Dt. Nan Tuo cari anak kerbau yang sedang erat
menyusu, buat tanduk dari besi seperti taji dan asah tajam-tajam dan
ikatkan erat-erat dikepala anak kerbau itu nanti sehingga tidak akan
mungkin untuk tanggal walaupun anak kerbau itu berlari. Tanduk ini
dipasang diwaktu akan bertanding nanti. Tanduk sudah disiapkan dan anak
kerbau tersebut adalah anak kerbau Dt. Pamuncak Majo Basa. Kemudian
dicari dan dimusyawarahkan dimana tempat mengadu kerbau nanti. Dapatlah
kesepakatan tempat mengadu kerbau itu nanti di balai-balai sidusun yang
tidak jauh dari lokasi
Dt.Nan
Tuo tersebut. Seminggu menjelang hari kerbau itu diadu anak kerbau
beserta induknya dipindahkan tempatnya kedekat lokasi serta
disembunyikan tempatnya dan diinanglah atau dipeliharahlah oleh orang
yang telah ditetapkan.
Tiga hari menjelang hari yang telah ditetapkan kerbau ini dipisahkan
dari induknya dan tidak dibolehkan dia menyusu kepada induknya, tetapi
makan dan air tetap disiapkan dan dipelihara/dijaga. Pagi hari di hari
ke 15 datanglah rombongan orang jawa tersebut (Kerajaan Mojopahit)
dengan membawa seekor kerbau betina yang besar dan minta dicarikan lawan
kerbaunya kepada penduduk. Lalu kerbau besar dan rombongannya itu
dibawalah ketempat yang telah disiapkan yaitu di Balai-balai sidusun.
Kemudian anak kerbau kita yang telah diinang tiga hari tersebut
dipasangkan tanduk dari besi yang ditajamkan serta diikatkan denga
erat-erat ke kepala anak kerbau tersebut sehingga tidak akan tanggal
walaupun anak kerbau tersebut berlari. Penduduk mengiringkannya secara
bersama-sama,setelah kedua kerbau itu tiba dibalai-balai sidusun
penduduk sudah ramai mengelilinginy. Rombongan orang jawa dengan bangga
dahulu melepaskan kerbau besarnya dan menganggap enteng kerbau kecil.
Kemudian anak kerbau kecil kita kepunyaan Dt. Pamuncak Majo Basa yang
telah tiga hari tidak dapat air susu induknya karena diinang
(ditanggung) dilipaskan. Penduduk kita sangat cemas melihat besar kerbau
betina itu, karena tidak sebanding rasanya ukuran badannya.
Setelah dilepaskan anak kerbau kecil kita selalu kebelakang induk kerbau
besar itu. Apalagi dia sudah haus ingin menyusu dan yang dihadapinya
ini adalah induk kerbau besar. Kerbau betina itu kewalahan menghadapi
kerbau kecil kita, setiap ingin menyusu tanduk dari besi yang tajam itu
selalu merobek bawah perutnya, oleh karena tidak tertahan lagi serta
darah mulai bercucuran, larilah induk kerbau itu kearah barat melalui
Bato Poro lari sepanjang jalan raya. Tiba ditembok ketek dia menyimpang
kepersawahan menuju arah Pagaruyung. Orang mengiringkan semakin
bertambah ramai, seolah-olah seperti ramainya dibalai. Sawah tersebut
sekarang disebut Sawah Balai, kemudian kerbau tersebut terus menuju ke
Pagaruyung. Agar jangan sampai dia lari terlalu jauh, lalu kerbau itu
dihambat orang (dihalangi orang,sehingga dia tidak jadi lari
kepagaruyung).
Sawah tempat menghambat kerbau itu sekarang bernama Sawah Siambek.
Kerbau itu lari kembali keatas kearah jalan raya dan selalu diikuti
orang ramai, sehingga sudah banyak yang tinggal-tinggal terompa (sandal)
atau sepatunya sehingga lokasi tempat terompa/sepatu banyak tinggal itu
sekarang dinamakan dengan Sawah Sepatu.
Disebuah kebun dekat jalan raya kerbau itu mengamuk atau mulai melawan
atau naik bagaknya. Lokasi tersebut sekarang bernama Parak Bagak. Kerbau
itu terus lari menelusuri jalan raya manuju Batusangkar. Disuatu daerah
perut panjang kerbau itu sudah mulai keluar dan daerah tersubut
sekarang bernama Koto Panjang. Kerbau itu terus berlari dan isi perutnya
makin bertampah banyak keluar. Daerah itu sekarang bernama Simpurut.
Dari simpurut ini kerbau itu terus lari kearah utara, oleh karena
kekuatannya semakin menurun dan lemah akhirnya kerbau tersebut terjatuh
dan tak bisa lari lagi dan disembililah disana dan serta dikelupaskan
kulitnya atau jangatnya. Tempat itu sekarang bernama Sijange. Tanduk
kerbau betina yang besar yang telah kalah itu diambil yang sebelah
kanannya untuk sebagai bukti kemenangan atau menangnya kerbau kita, dan
yang sebelah kirinya dibawa kembali kejawa sebagai bukti kekalahannya.
Tanduk kerbau yang kalah tersebut sekarang masih dapat dilihat yaitu
dirumah gadang
Dt.Majo Basa karena yang punya anak kerbau kecil penyebab kemenangan dahulu itu adalah milik dia bersama kaumnya.
Semenjak kejadian tersebut daerah pemukiman penduduk berobah namanya
menjadi Nagari Miang Kabau. Akhirnya berobah sedikit logat menjadi
Minangkerbau.
Demikianlah asal usul daerah pemukiman penduduk ini menjadi Nagari Minangkabau.